Jumat, 02 September 2016

Sepeda tosca saya yang hilang

Waktu sudah pukul satu siang, setelah bertemu lewat ‘maya’ dengan Tuhan di rumah-Nya saya dan Age beranjak ke warung soto dekat lapangan sekolah yang penuh dengan gadis-gadis tanpa jilbab karena mereka masih imut-imut belum sadar akan kemolekan dirinya megundang nafsu birahi. Disitu ada seseorang yang saya sukai yaitu Zasya, ia satu angkatan dengan kita berdua. Hanya Aga yang memesan soto karena tiba-tiba saya puasa dadakan setelah melihat benda lain yang hilang selain keberanian saya yang hilang untuk mencintai Zasya seperti lelaki dari masa depan yang tersesat pada portal waktu masa lalu. Benda itu berwarna biru muda kehijauan dengan stiker bertuliskan ‘Marpaung’ ialah nama sepeda Tosca saya yang hilang tempo hari, Setelah saya cek tenyata benar dan saya sungguh mengeluh karena roda dan semuanya telah hilang di pretelin menyisakan frame utamanya saja dan sepasang rem belakang, lalu saya bertanya pada Ibu Surti pemilik warung soto, katanya dia juga baru lihat itu barang di situ. Saya sudahi saja  kelana di warung soto ini dan meminta ke Aga agar frame sisa dari tubuh Marpaung dititipkan ke warung Ibunya di kantin sekolah sana dan Aga pun hanya meng-iya-kan saja tanpa banyak mengomentari. Sebelum pergi saya mencoba mengintip gadis idaman saya dahulu, ternyata ia masih berambut pendek karena memang ia agak tomboy sebagai anak pertama di keluarganya dengan dua adik ia berusaha tegar dan terus tersenyum, sampai jumpa Za besok kapan kita jumpa lagi saya sedang mencari keberanian untuk bertemu dengan mu walau harus terjebak di masa lalu yang cukup terik di siang ini puasa saya yang dadakan karena juga uang saku saya ketinggalan dirumah tadi pagi, ‘dasar ceroboh’ mungkin itu makian kau yang di lontarkan kepada saya ketika kesal melihat ketledoran bocah lelaki lugu ini.

Ketika sampai di kantin sekolah kami telah meniti pada pukul setengah 2 siang yang harusnya waktu bel masuk untuk mata pelajaran terakhir bergulir, frame sisa dari tubuh Marpaung telah saya titipkan pada Aga yang masih tanpa banyak cakap karena ia telah tahu semua rahasia hidupnya dan hidup saya. Aga adalah anak terakhir seperti saya yang cenderung lebih aktiv otak kanannya dan sukanya otak-atik barang seperti gadget dan kerajinan tangan seperti memahat, juga tumbuh menjadi anak yang mencintai binatang bukan untuk di jadikan pajangan saja namun menjadikan binatang juga sebagai teman yang memiliki pemikiran dan keinginan masing-masing, walaupun memang hewan tak memiliki perasaan tetapi Aga pernah berpesan pada saya bahwa ‘lebih baik kau adopsi seekor kucing dari pada kau adopsi perasaan itu, hanya membuat mu sakit saja lai’ dan ia juga pernah berkomentar begini ‘kau seharusnya yang memiliki perasaan itu hidup dengan perasaan itu tetapi malah kau seperti hewan hanya mengandalkan insting nafsu cinta konyol mu itu, rela terjebak di masa lalu demi bocah ingusan itu’ saya hanya takzim ketika Aga berbicara, sekali ia berkehendak untuk angkat bicara berarti memang ada hal yang terusik dalam sanubari hatinya, sunggu bocah yang legendaris dalam kelana waktu saya ini, menakjubkan kata-katanya.

Tanpa sadar kita berjumpa seorang guru di koridor sekolah ketika hendak kembali ke kelas kita, beliau bernama Pak Sunu ia keturunan orang Perancis-Senegal sehingga kalau di sini seperti orang timur dengan kepala plontos dan tubuh tegap tinggi juga kekar pas sekali jika ia menjadi guru kesehatan jasmani dan pelatih club sepak bola sekolah ini, beberapa kali timnya menyabet gelar juara Sepak Bola maupun Futsal tingkat kecamatan dan kabupaten mungkin tahun ini ia mencoba di tingkat nasional dan internasional. Pak Sunu bertanya pada saya ‘hei kau kemana saja tak pernah ikut latihan Bola hah ?’ saya cuman tersenyum saja kerana dengan hati yang rapuh ini mana mungkin saya hadir untuk latihan, mental saya sedang down dan kegiatan fisik tak terlalu membantu saya bergairah lalu saya berusaha cepat-cepat melangkahkan kaki untuk kabur, si Aga memberi isyarat pada Pak Sunu bahwa waktu masuk telah tiba dengan menunju-nunjuk jam tangan barunya, terkesan ia pamer jam barunya ketimbang menghambat Pak Sunu yang selalu sehat tanpa menghirup sebatang rokok yang masih murah sekali pada waktu ini atau dulu.


Saya cuman seorang pelajar biasa dan hanya anak terakhir di keluarga saya yang introvert dan kadang susah sekali untuk melupakan impian-impian masa lalu seperti untuk bersama Zasya namun apa daya tak ada hasil. Sekarang lebih baik untuk mencari beraneka ragam benda yang hilang dan mainan yang sudah sulit di temui di masa depan untuk sekadar koleksi dan nostalgia, walau harus tertidur dahulu di kelas lagi karena materi sosiologinya sungguh membosankan dan Pak guru juga terlalu serius cara mengajarnya cuman ceramah, ceramah dan ceramah seperti radio rusak kehabisan batre. Maaf Pak saya berkata jujur seperti itu karena Bapak juga yang mengajari nilai integritas tersebut. Dalam mimpi saya juga bermimpi, paradox yang ambigu ah pusing saya, tetiba saya di bangunkan Aga dan jam pelajaran telah usai. Saatnya pulang dan buka puasa.