Selasa, 31 Mei 2016

Balada nikah muda ala-ala jomblo, eaaa. . .

Nemu orang lagi pre-wed dan kebetulan
bawa camdig dan hasilnya lumayan lah,
oh iya kenapa harus pre-wed yah ?
Nikah muda dan kebelet nikah itu beda-beda enyoy lah yah, kalau nikah muda memang karena kita sudah siap mental dan kita sudah punya pekerjaan sebagai jaminan kelak kita tidak menelantarkan sang istri walaupun istri memaklumi jika kita belum mempunyai pekerjaan namun sadar lah realita itu butuh asupan gizi saat hamil perlu transportasi buat persalinan, butuh biaya persalinan dan lainnya, jangan mengandalakan orang tua terus walaupun orang tua juga mau-mau saja diminta bantuannya. Kalau kebelet nikah ini nih yang cenderung karena pengaruh media yang mengajak pada hal-hal yang sewajarnya tidak di lakukan oleh anak-anak muda sekarang, mereka hanya berfikir sepotong-sepotong saja namun melupakan bagian-bagian lainnya. Pokoknya beda lah antara nikah muda dan kebelet nikah.
Ada banyak contoh nikah muda secara empiris dari orang-orang yang saya kenal, mulai dari orang tua saya dulu umur baru 21an sudah nikah, kakak saya umur 25 sudah nikah dan teman-teman saya umur 23 juga sudah nikah ada pula yang masih kuliah sudah nikah, tetapi itu pilihan mereka, tetapi mereka memiliki alasan dan argumentasi masing-masing, saya tidak bisa lalu menggugat atau mempermasalahkan itu semua sebab yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya apakah dengan bijaksana atau dengan rasa sinis ? itu juga pilihan kita, sebab kalau jomblo itu mudah tersinggung, kalau ada temennya nikah muda dia jadi kepengin juga nikah muda padahal dia selama ini tidak menyiapka apa-apa, omong kosong jika mau nikah muda tapi cuman ongkang-ongkang kaki, boro-boro nayri uang mahar nyari kerja aja ogah tuh haha. Semua orang punya impian semua orang punya ceritanya masing-masing maka hidup ini tidak perlulah kita anggap sebagai kompetisi yang saling berlomba menjadi nomor satu, lalu jika kita ingin mejandi nomer terkhir toh bukan masalah kan ? ini cerita saya ini kehidupan yang Tuhan berikan kepada saya, kenapa pula kita ikut kebelet saat teman-teman kita nikah duluan sih ?

Belajar dari ketidak tahuan, ah masa gitu aja gak tahu ?

cuman lagi liat kebawah aja kok. . .
Dulu saya tidak tahu namanya nikmat membaca, dulu saya tidak tahu namanya bahagianya saat menulis, dulu saya tidak tahu kalau punya buku-buku novel itu butuh duit banyak, dulu saya ga paham tuh namanya aksi social, aksi lingkungan, dan dahulu saya ga paham soal cinta. Tapi kini ? lumayan lah udah sebagian yang saya pahami dan pelajari, ada banyak yang ingin tahu dari kehidupan ini namun kita manusia cuman punya waktu sedikit dan kemampuan untuk berkata-kata pun sangat lah terbatas kadang yang jelas saja masih menimbulkan perdebatan, antara saya yang tidak bisa mempacari mu karena ini bukan soal status punya pacar dan ga punya pacar tetapi realitanya adalah kita ini perlu menikah untuk bisa pacaran, pelukan, ciuman dan ngapain aja dah terserah adik saja haha. Namun diri mu cuman melihat sisi gampangnya saja soal lelaki jika suka ya harus membuat status, ga cuman teman saja. Itu benar sekali namun buat ku masih ada banyak waktu untuk meminang seseorang sebab kini proses terus berlanjut terus bertumbuh, tergesa-gesa memang asik namun buat apa jika nanti berhenti di tengah jalan. Kembali lagi dulu saya memang lemot dan polos, tapi kini masih mencoba untuk polos namun bisa sigap atas hal-hal baru yang tak selalu baik. Kembali lagi dulu banyak yang tidak saya ketahui secara utuh hanya sepotong-sepotong saja, kini masih mencari potongan yang lainnya untuk terus menggenapi pazzel-pazzel kehidupan terutama soal dirimu yang eksistensinya di luar dari kepribadian saya tentunya. Namun itu bukan lah masalah karena itu merupakan proses yang tentu harus bertumbuh, tak bisa hitungan bulan atau tahun, terlalu relative.

Aku lupa mau berbuat apa ?

Waktu rambut gondrong meraja lela dan
bikin ketombean haha. . .
Saking ramainya nih lalu lintas ide dalam pikiran ditambah harus sabar menghadapi setiap perlakuan teman-teman yang perlu menjungjung tinggi asas kesabaran karena kadang ada yang lemot kadang pula ada yang tergesa-gesa buat di tampar haha, makanya lebih suka di kost atau kontrakan kalau memang tidak memiliki kepentingan yang memang penting untuk saya bahas dan kita uraikan bersama, sebab untuk menghindari tamaparan yang merusak pertemanan itu haha, tetapi pada akhirnya saya tak pernah benar-benar menampar mereka sebab mereka sudah menampar saya dahulu haha, oh iya ide-ide yang membludak kadang hanya lewat begitu saja seperti orang yang lewat permisi mau numpang Tanya kenapa kamu suka nampar-nampar sih ? ah gak nyambung tuh orang di Tanya malah nampar haha.
Manajemen per-ide-an sebenarnya perlu juga untuk kita terapkan jika tidak ingin ide itu cuman mampir lalu nyelonong pergi tanpa permisi, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Mungkin perlu kita catat dalam sebentuk judul-judul ringkas seperti judul bab pada buku novel atau buku cerpen atau pun puisi.

Kapan kita belajar renang lagi kang ?

Sok-sok an renang tapi ga bisa meluncur dari atas haha. . .
Pelajaran olahraga adalah favorite anak-anak sekelas karena ini tidak mengandalkan tingkat berfikir yang terus menrus harus focus di tempat duduk, namun fokusnya adalah pada gerak tubuh dan kelincahan tubuh dan system motorik antara tubuh dan otak. Sehingga apa yang kita pikirkan berkesinambungan dengan gerak tubuh. Memang rindu saya terhadap ritual rutin mingguan yang didedikasikan hanya untuk berolahraga dan berekreasi, bermain bola dan berlarian di matahari pagi menjadi upaya kita merilekskan tubuh dan pikiran dari tekanan mata pelajaran yang sungguh menjemukan pada masa lampau itu. Tersendat sendat dalam berkehidupan dari sudah lamanya kita tidak berolahraga yang rutin, walau kata orang sih inikan cuman mata pelajaran dan ilmu yang kita pelajari cuman dasar-dasar berolahraga dan ketika keluar dari sekolah maka seharusnya kita tidak memikirkan itu sebagai prioritas namun jadi sampingan, namun menurut saya olahraga penting walau dalam banyak institusi pendidikan tinggi tidak lagi menjadi kewajiban peserta didik untuk mendapakantnya, hanya beberapa institusi pendidikan tinggi yang menganjurkannya ada dalam proses pembelajaran, selebihnya memfokuskan pada bidang jurusannya masing-masing.

Kamu orang mana, kok ga hapal jalan sih ?

Ga sengaja liat merbabu dari merapi.
Flash back ke masa silam, dulu saya dari TK sampai SMA bosan sudah sekolah di kampung tepatnya di Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Bosan bukan berarti tidak mencintai hanya butuh hiburan, lah kadang sebulan sekali saya bertamasya ke kota untuk membeli kebutuhan rumah tangga, ya jelas saya selalu menemani orang tua saya ke kota hanya untuk makan bakso favorite atau sekadar cuci mata yang juga di selingi belanja makanan yang tidak tersedia di kampung. Seringnya saya menaiki bus oren bernama ‘keluarga’ yang kalau duduk di buritan atau bangku paling belakang serasa naik komidi putar tapi muternya ke atas naik turun gitu lah haha. Kadang juga pernah kecopetan di bus dengan modus hipnotis dan mainan yang saya beli juga ikut hilang karena berada di dalam tas ibu saya haha sial sekali. Namun seiring perkembangan zaman dan semakin bertambahnya usia saya maka intensitas menggunkan bus sebagai moda transportasi utama mulai berkurang drastis.

Senin, 30 Mei 2016

Zaman masih nyubi

Zaman masih mencari apa itu mengerti diri sendiri, sekarang
juga masih sih hehe. . .
Saat itu saya berjalan tanpa ragu lalu ragu lagi karena memang saya masih nyubi, masih bodoh dalam tingkatan terbodoh, kini masih lumayanlah bodohnya mendekati kebodohan yang hakiki. Setelah semua telah mendekati kebodohan yang hakiki itu saya merasa semua hal itu hanyalah ilmu yang membuat hampa akan lezatnya hal-hal yang tidak materil. Sesuatu yang kasat mata dalam diri ini mungkin berusaha mewujud, lalu jika hal yang kasat mata itu mewujud bagaiman tubuh ini ? apakah akan saya tinggalkan begitu saja, teronggok di dataran rendah ?
Hah jadi ngelantur begini, sebab ini memang pesan pelantur diri dari hal-hal yang stagnan. Kini lukisan itu telah hilang sebab saya tak menyimpannya. Namun semua kenangannya ada dalam jiwa ini yang kasatmata namun ingin mewujud, ingin merasakan sakitnya berekspresi dalam dunia kebendaan. Selamatkan masa atau zaman nyubi setelah anda bisa berkembang dan bertambah agak gendut, karena terlalu banayak menelan benda-benada lezat.

Sadar literasi sadar kesehatan, ah masa sih ?

Anak-anak rentan terpapar asap rokok, apakah kalian mau anak
kalian menjadi perokok ?
Banyak yang lulus cepat dan memiliki nilai tinggi ada pula yang sampai professor atau ahli dibidangnya namun yah masih ada juga yang bisa di sogok bahkan ada yang masih berlagak seperti orang yang tak pernah makan bangku sekolahan, melihat dari masih banyaknya anak-anak yang membeli rokok dengan bebasnya di warung-warung samping sekolahan pada waktu istirahat dan dengan santainya menunggu bus sambil menghisap rokok. Kadang para orang yang sudah sadar literasipun masih memiliki kelakuan untuk tidak peduli dengan kesehatannya bahkan dengan dampak apa yang telah mereka hasilkan dari perilaku merokok yang bebas dimana saja, di institusi pendidikan, di pemerintahan, di rumah, dimana pun itu ketika itu jua ada anak-anak yang menjadi korban perilaku dari kebiasan merokok. Budaya literasi tidak diikuti dengan pemikiran yang progressive. Ada yang bilang bahwa merokok itu bukan masalah pemikiran yang sudah sadar literasi atau memiliki budaya literasi namun merokok itu soal candu yang memang kompulsif di otak yang membuat otak jadi ketagihan atau entah lah saya masih belum benar-benar paham atau susah mencari kebenaran fakta yang soal rokok ini. Lalu apa pula itu budaya literasi ? buat apa pula mengurusi anak-anak yang di bawah umur untuk tidak merokok ? mengapa pula saya menulis dan berkampanye soal rokok ? toh semua itu karena negeri ini di cengkram oleh industry rokok yang pemilik rokoknya pun tidak merokok, biasanya gitu sih yang memiliki industry sudah tidak lagi butuh apa yang industry itu hasilkan, pemilik tersebut memilih menyendiri dan menikmati dunia yang sesungguhnya yang tidak ada kaitannya dengan industry.

Ada kantong plastic di dalam kantong plastic

Itu sandal jepit yang diplastikin.
Zaman depan saya menyimpan kantong-kantong plastic yang di remas-remas hingga menjadi gumpalan, lalu gumpalan itu berjumlah puluhan, ratusan dan ribuan, entah berapa lagi tak pernah kuhitung hingga satu kantung itu penuh dengan gumpalan-gumpalan plastic, otak kanan pun menggumpal dan otak kiri di remas-remas untuk menggumpal. Apakah ada kantong plastic yang berada di dalam kantong plastic ? sungguh ini lucu dan pilu, apa kita bisa tertawa dan terbahak untuk kantong-kantong itu atau plastic itu yang telah memilih kita untuk terus ditertawakan dengan lawakan plastic yang menggumpal, menyumpal lalu menggunung. Sampai rumah kita pun adalah gumpalan plastic, kasur empuk kita pun gumpalan-gumpalan, darah kita menggumpal jadi plastic. Oh iya kita adalah yang ditertawakan oleh mereka para penikmat, oleh gumpalan plastic yang selalu baru karena hanya untuk satu kali pakai. Sudah saatnya kita membuat menu baru pada café-café tempat nongkrong pemuda, menu baru yang berjudul nasi dari gumpalan plastic, es dari gumpalan plastic. Lama-lama manusia punah karena pemudanya mati terlalu kenyang memakan gumpalan plastic. Akhirnya penduduk bumi itu adalah para gumpalan plastic. Selamat atas kemenangan dari invasi gumpalan plastic, selamat datang peradapan  plastic.

Pemuda bodoh di negeri kaya

Saat itu aku berbincang dengan hipo.
Hiduplah pemuda bodoh di negeri nan kaya, ia adalah seorang yang peragu namun ia tahu kenapa menjadi peragu sebab ketika ragu maka akan muncul sebuah pertanyaan-pertanyaan yang mencoba dipikirkan walau pemuda itu bodoh tetapi ia berfikir kenapa dan bagaimana ia bisa ragu. Keraguannya terhadap cinta, terhadap pemaknaan seseorang tentang cinta yang masih terbelenggu segumpal besi yang mengeras dari yang cair. Pemuda bodoh lalu juga peragu, ia sudah memberikan segalanya dan untuk seseorang ia mampu bersabar, walau ia tahu sabar saja hanya akan menghasilkan ketidak mungkinan dan itu adalah sebuah keniscayaan bagi peragu yang bodoh namun sanggup berfikir. Katanya ia memiliki sebuah kelebihan untuk memulai semua ini, sebuah modal untuk terus mengasihi. Matanya tidak polos lagi semenjak ia mengenal yang di kasihinya, ia mulai beranjak menjadi seseorang yang bersikap dan berani untuk mengungkap bahwa semua itu adalah masalah yang sama dengan apa yang jua dialami oleh orang lain di bumi ini.

Terkungkung dalam kebebasan dan kemerdekaan

Waktu itu di solo lagi mural bareng, berekspresi bareng gitu sih.
Pemuda, seorang yang pantang menyerah, seseorang yang penuh dengan gairah. Petualangan kadang adalah hobinya, kadang humor adalah prinsip hidupnya. Suatu ketika pemuda adalah pemimpinnya, memimpin negeri. Pemuda awal dari kebebasan dan kemerdekaan dan pemuda pula yang pertama kali untuk memberontak kebebasan dan kemerdekaan itu. Suatu purnama pemuda bernyanyi karena hatinya sunyi, jiwanya melayang, mengambang diatas cermin bulan, cermin dari langit purnama. Sesuatu yang garing menjadi pemuda yang terkungkung oleh kemerdekaan dan kebebasan. Pemuda yang hingga ajalnya terjebak pada pemikirannya. Sungguh lautan dan lembah pegunungan adalah tempat bertualang untuk belajar apa arti kemerdekaan itu. Bukan hanya mejelajah melalui kertas dan maya yang terbarukan. Malas kaki untuk sekadar menjelajah, untuk sekadar mampir dan berkata bahwa dunia ini cukup untuk kita semua bukan untuk satu orang saja. Ah kenapa pula dunia ini tercipta begitu luasnya namun pemudanya terkungkung dalam kemerdekaannya sendiri terkungkung karrena malas melangkah. Lihatlah hal yang indah sebelum kita merasa bahwa dunia ini cuma sekadar kota yang gersang. Setelah selesai melangkah apakah itu sudah cukup ? apakah kita bisa bahagia ? lalu apa itu melangkah dan bahagia kenapa kita jua menajdi pemuda di tanah yang indah ini. Rasa-rasanya kelucuan dalam kebahagiaan dan kebebasan adalah murni bukti dari segaris citra foto satelit penjelajah luar angkasa.

Minggu, 29 Mei 2016

Pemuda terbodoh !

Pertama kali saya naik merbabu,lampau.
Aku adalah pemuda yang paling bodoh diantara pemuda-pemudi yang juga bodoh semua. Selama ini aku meragukan kepribadian diri sendiri karena teracuni berita-berita buruk dari social media pun televisi. Namun benar dunia ini bukan cuman sekadar social media dan televisi, dunia ini ternyata lebih dari yang kita lihat, kita dengar dan kita pikir atau rasakan. Indonesia ini adalah hal-hal yang tidak absolute dan stagnan namun Indonesia berjalan dengan atau tanpa relawan-relawan ganteng dan modis pun Indonesia akan tetap lestari dan terpuji seperti anak perempuan kelas empat sekolah dasar umur 11 tahun yang kata teman saya ia bekejaran dengan waktu, bermain-main dengan masa lalu dan masa depannya. Puji lestari, Zulfa, Sarno dan entah siapa lagi saya belum mampu menghafal satu persatu, memang sulit menjadi penghafal anak-anak yang masih polos, kita teralihkan dari dunia yang biasa sehari-hari kita jalani. Entah itu satu kata yang terngiang di kuping, saya menulis dengan rasa entah.


Pada awalnya saya adalah peragu yang ulung, keyakinan yang jelas terpapar setiap hari pada diri sendiri pun masih saya ulik lagi hingga ragu, tetapi setelah keraguan itu sirna maka hanya ada sebuah keyakinan yang membludak-bludak, optimisme, percaya diri dan rasa bangga itu aku rasa tidak mahal lagi dan tidak sulit lagi untuk kita lakukan. Aku dan kami adalah orang yang kesepian setelah lama berbincang hanya dengan diri sendiri dan lupa bahwa masih ada alam dan bocah-bocah kecil yang entah mengapa mau berteman dan bermain dengan kami ini.
Pertama kali naik ke lereng merbabu, sebuah dusun.
Gamabaran sebuah dusun di lereng merbabu.

Wisuda bikin macet ajah nih !

Teman sekelas walau tak lengkap juga sih.
Hmm rasanya banyak banget yang up-load foto di media social soal wisuda bahkan sampai dengan quote berenda-renda dan meliuk-liuk, lucu juga melihatnya kadang suka geli-geli sendiri melihat tingkah laku pemuda kini ini. Memang secara materil dan intelektual apalah saya yang hanya warga biasa dan pemuda biasa di negeri maha kaya ini, sebenarnya saya pun tak boleh memprovokatif soal orang-orang yang merelakan wisudanya hanya dengan suka cita dan berfotoria dengan di up-load ke medsos, siapa pula saya menyinggung mereka. Tetapi saya berfikir dan merenungkan hal tersebut sudah lama dan terus mengamati perjalanan dari euphoria para wisudawan ini melalui medsos. Dari sini mungkin perbedaan antara penyindir dan pengkritik itu memang berbeda satu sama lain, sebab menyindir itu karena kita tidak percaya diri lalu kita mencari celah dari diri seseorang atau suatu hal yaitu keburukan atau hal-hal yang menurut kita anggap aib dan apapun itu, sedangkan pengkritik adalah hadir karena mereka merasa gerah dan resah yang memunculkan rasa ingin beropini, berargumentasi soal apakah memang begitu caranya atau memang begitu seharusnya atau tidakah ada yang lebih baik lagi selain itu ? dari rasa resah lalu muncul rasa penasaran yang mewujud menjadi pertanyaan dan opini atau argumentasi kepada objek yang di tuju.

Plastic import atau brandnya yang import ?

Dipikir-pikir ternyata pengeluaran untuk servis kendaran bermotor, berbahan bakar minyak bumi, berbodi plastic bikin sakit dompet. Apalagi jika kita habis nabrak dan harus ganti spare-partnya hmm lumayan dah bisa dapet buku bacaan sepuluh biji deh, di baca sebulan gak rampung-rampung tuh. Tapi apa daya kita sebagai bangsa belum bisa atau belum berani membuat brand sepeda motor 100% murni aseli paten dari Indonesia, kita msih menguntit pada brand luarnegeri yang dalih produksinya di dalam negeri namun barndnya tetep dari luar ya enak deh yang punya brand, kita ngerakit sendiri, onderdil sebagian buatan dalam negeri namun yang dipajang brand bangsa luar, kalau brand sendiri kan setidaknya kita bisa bangga pas nabarak brand luar tuh, bisa bandingin plastic mana yang bagus hehe. Aduh ini gimana yah orang-orang kok ga ada yang riset dan mengembangkan produknya sendiri lalu bisa jadi industry atau minimal jadi kebanggaan bangsa gitu loh gaes, mulai dari sepatu, kaos, celana dan tas kok ya pakai brand luar negeri ? apakah brand local atau brand nasional itu ga bagus-bagus yah ? yah ternyata kita mampu, skill kita mumpuni, bahan melimpah, riset banyak yang mendalaminya namun tak terapresiasi dan izin lumayan runyam dengan alur birokrasi yang berbelit-belit kaya belitan ular python tuh. Jadi bijaknya tak harus ada yang di salahkan namun bencinya ini Negara sendiri kok produk nasional dibikin susah, hey !.

Rabu, 25 Mei 2016

Kurangnya minat baca mengajak pada fanatisme yang destruktif

Membaca hmm mungkin suatu hal yang masih langka dalam territorial kebudayaan di negeri ini, budaya literasi ini jomplang dengan fanatisme yang membutakan. Ketika kita tidak mengulik lagi sebuah ajaran agama hanya mempercayainya saja tanpa pernah berfikir untuk membuktikannya walau bukan berarti dengan pembuktian kita menyangsikan wahyu Tuhan yang memang sudah tidak bertumbuh lagi dan itu paten, tidak bisa kita tambahi dan kurangi atau sekadar mengkritisinya namun yang harus dikritisi adalah tafsir-tafsir manusia yang didapat dari wahyu Tuhan itu karena tafsir itu rentan dan tidak absolute seperti wahyu yang tak terelakan. Kembali budaya literasi, bahwa kenyataan orang tua masih ada yang melarang kita untuk bebas berfikir dan mebaca.

Pengganggu saat zikir ku

Pada zamannya kita berkumpul hanya untuk bercerita soal pasangan hidup yang entah dimana keberadaannya, ada yang berkelakar sambil berpuitis dan ada yang optimis sekaligus pesimis karena realita dan idealism berbenturan satu sama lain. Pada zaman ini kita berujar bahwa sesuatu yang kita anggap kebaikan harus disegerakan dan lainnya beranggapan bahwa hal yang terburu-buru adalah hal yang sangat mungkin untuk menjadi sumber permasalahan jika kita tidak biasa mempersiapkan dengan cepat dan lengkap, walau itu dalam konteks kebaikan sekalipun. Pada masa ini merupakan pencarian yang cukup rumit dan complicated sebab siapa yang tahu masa depan itu secara gamblang, namun obrolan kami pun hanya menjadi humor di kala bertemu dalam sebuah obrolan, setidaknya kita masih bisa berbincang walaupun kita tidak tahu kelanjutan kisah dari pasangan yang di komedikan kadang pula jadi bahan humor yang menurut saya sanggup menyinggung teman-teman sekitar. Tapi jika tersinggung memang teman tersebut adalah orang yang kurang percaya diri dengan keyakinannya sehingga mudah terpercik walau itu humor yang di bawakan bukan untuk menghina atau menyerang sekadar dinamika dalam obrolan, toh jika memang kurang berkenan bisa balik dengan membalas humor juga.

Kopi proletar dan kopi kapitalis

Kopi ada dua jenisnya yang saya nilai dari sudut proletar dan kapitalis, ketika itu ada sebuah warkop yang menampung dua kopi tersebut dalam satu meja dengan obrolan sebagai bahan pemanfaatan waktu, karena segala sesuatu diciptakan dan tercipta pasti memiliki manfaat dan peranannya masing-masing. Kadang dari kopi proletar berceloteh bahwa kopi original kini sepi pelanggannya kebanyakan sudah beralih ke kopi-kopi model artificial yang lebih mengedepankan permukaan dari pada rasa atau khas produk local, kopi kapitalis menyahuti bahwa bukan salah mu menjadi kopi yang proletar atau kopi milik rakyat asli suatu daerah atau kopi murni tanpa campuran beras dan jagun kaya saya ini, yang bodoh adalah ketika orang-orang negeri ini terlalu ribut untuk masalah artificial alias masalah fisik tapi lupa untuk memaknai semua yang mereka buat atau akan mereka lakukan. Tetaplah jadi dirimu yang proletar karena ketika saya menjadi kopi kapitalis tanpa ada teman yang proletar akan sulit untuk menjadi gunjingan khalayak pecinta kopi di negeri pertiwi ini. Kopi proletar bersedih dan berkata, naïf memang keadaan kita ini kini hanya karena beberapa kebutuhan, hanya karena kebutuhan mendasar yang nyasar entah untuk apa kita berdua jadi sebuah gunjingan yang memang tak enak di dengar.

Dunia lelaki tak dimiliki wanita

Dunia, dimata lelaki dan wanita pun sudah berbeda. Ketika lelaki memiliki dunianya sendiri maka bisa saja dunia itu tidak pernah berubah hanya ada satu nama dalam hatinya, mungkin tepatnya yaitu hanya ada satu wanita yang terus ia harapkan hingga waktu dimana itu benar-benar tejadi. Sehingga ada sebagian kalangan wanita yang menjadi korban dari keriangan dunia lelaki tersebut, dunia itu terlalu riang hanya untuk mendalami satu wanita yang dulu sampai sekarang ia impikan tanpa bisa direalisaikan karena untuk sekadar berkata suka itu tak diberi kesempatan oleh sang waktu. Pada akhirnya lelaki tersebut hanya mendapatkan sebuah kehampaan dalam dirinya tenggelam dalam sanubari masa lalu dan kini yang tak pernah ingin dirubahnya. Lelaki tersebut hanya mendapat sisa-sisa kebahagiaan dalam hidup ini, hingga ia mampu terbangun dari keriangan dunianya.

Petani yang mencuri sandal jepit ku

Beberapa bulan terakhir setiap akhir pekan saya selalu menjelajah entah kemana mencari sesuatu yang mungkin bisa bermakna untuk dikenang dan diceritakan untuk anak cucu kelak. Tetapi kelucuan itu datang bukan dari tempat-tempat jauh yang seperti saya angankan dan bayangkan, kelucuan itu datang dari rumah kontrakan saya di pinggiran kota kenamaan yang apa adanya ini. Pulang lah saya dari petualangan yang entah ke berapa telah tayang pada layar televisi di dalam sanubari jiwa ini,