Kopi ada dua jenisnya yang saya nilai dari sudut proletar
dan kapitalis, ketika itu ada sebuah warkop yang menampung dua kopi tersebut
dalam satu meja dengan obrolan sebagai bahan pemanfaatan waktu, karena segala
sesuatu diciptakan dan tercipta pasti memiliki manfaat dan peranannya
masing-masing. Kadang dari kopi proletar berceloteh bahwa kopi original kini
sepi pelanggannya kebanyakan sudah beralih ke kopi-kopi model artificial yang
lebih mengedepankan permukaan dari pada rasa atau khas produk local, kopi
kapitalis menyahuti bahwa bukan salah mu menjadi kopi yang proletar atau kopi
milik rakyat asli suatu daerah atau kopi murni tanpa campuran beras dan jagun
kaya saya ini, yang bodoh adalah ketika orang-orang negeri ini terlalu ribut
untuk masalah artificial alias masalah fisik tapi lupa untuk memaknai semua
yang mereka buat atau akan mereka lakukan. Tetaplah jadi dirimu yang proletar
karena ketika saya menjadi kopi kapitalis tanpa ada teman yang proletar akan
sulit untuk menjadi gunjingan khalayak pecinta kopi di negeri pertiwi ini. Kopi
proletar bersedih dan berkata, naïf memang keadaan kita ini kini hanya karena
beberapa kebutuhan, hanya karena kebutuhan mendasar yang nyasar entah untuk apa
kita berdua jadi sebuah gunjingan yang memang tak enak di dengar.
Di satu sisi local itu perlu didukung namun industry tak mau melirik pada hal kelocalan karena kebutuhan rumah tangga telah menggunung setelah pesatnya teknologi dan informasi. Mau jadi kopi proletar atau kopi kapitalis yang jelas hakikatnya kita terlahir untuk disesap entah itu pakai gula pasir, pakai gula bubuk, gula batu atau mix pake susu atau cream atau apalah yang jelas kita hanya sebuah alasan untuk melahirkan obrolan dan curahan orang-orang tentang lingkungan, konservasi, Negara, agama, pendidikan atau sekadar bertatapan tanpa berbincang. Ada hal ajaib yang muncul cuman dari segelas kopi, teh, susu, cokelat dll. Ada hal-hal yang tak tertulis karena belum tentu yang tertulis perlu dibaca dan dipahami.
Di satu sisi local itu perlu didukung namun industry tak mau melirik pada hal kelocalan karena kebutuhan rumah tangga telah menggunung setelah pesatnya teknologi dan informasi. Mau jadi kopi proletar atau kopi kapitalis yang jelas hakikatnya kita terlahir untuk disesap entah itu pakai gula pasir, pakai gula bubuk, gula batu atau mix pake susu atau cream atau apalah yang jelas kita hanya sebuah alasan untuk melahirkan obrolan dan curahan orang-orang tentang lingkungan, konservasi, Negara, agama, pendidikan atau sekadar bertatapan tanpa berbincang. Ada hal ajaib yang muncul cuman dari segelas kopi, teh, susu, cokelat dll. Ada hal-hal yang tak tertulis karena belum tentu yang tertulis perlu dibaca dan dipahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar