Jumat, 27 Januari 2017

Menulislah dalam kata-kata dan bermimpilah dalam imaji

Suatu sore saya beranjak dari kamar kost yang nyaman dan layak huni, kost-kostan yang di diami oleh orang-orang yang berbakat melawak dan tertawa, tertawa hanya dengan celetukan khas anak muda yang sedang merintis kepercayaan diri, percaya diri bahwa dunia ini tak sekejam dan sekaras yang di dongengkan para tetua. Setelah memberikan senyum dan salam bahwa saya akan pergi sebentar menemui teman-teman yang memintai bantuan untuk sekadar jadi pendengar yang bijak, mendengarkan keluh dan kesah soal kuliahnya, soal tugas-tugasnya dan soal kehidupan keluarganya atau kisah cintanya dengan seorang teman yang lugu. Sore itu saya merenung setelah mendengar banyak kisah yang di ceritakan tanpa paksaan mengallir begitu saja, tanpa ada tekanan, melaju dengan kepercayaan sebagai teman. Bahwa saya bukan lah siap-siapa di antara mereka, saya hanya bagian kecil dari takdir mereka, bertemu hanya dalam hitungan menit atau jam saja, bertemu untuk mengetahui rahasia kehidupan bahwa saya hanyalah potongan kecil yang saharusnya menjadi pemeran utama dalam kisah hidup saya sendiri, bukan menjadi dewa penolong mereka karena saya bukan siapa-siapa di kehidupan mereka, saya hanyalah figuran yang numpang lewat di episode kehidupan mereka.
Saya sering berfikir untuk menolong teman-teman saya setelah mendengar kisah-kisah mereka, namun kesadaran ini menegaskan bahwa saya hanya manusia biasa bukan dewa penolong yang mengurus diri sendiri pun tak terlalu becus, berani-beraninya menolong orang lain ? namun melihat semangat mereka untuk terus berani hidup dengan tawa dan senyuman walau dalam diri mereka mengalami banyak kisah yang pahit, mulai dari kisah cinta yang suram, urusan ekonomi yang klasik dan soal hidup yang kadang membuat seakan-akan tidak berpihak pada teman saya. Lalu pada malam harinya saya memikirkan sebuah ide yang terngiang di dalam kepala saya, bahwa dukungan moril saja belumlah cukup untuk membantu teman-teman saya, sesuatu hal momentum harus terjadi dalam bentuk apapun itu maka saya memutuskan berimaji dan berdialog dengan diri sendiri bahwa potensi yang dimiliki teman-teman seharusnya bisa menolong mereka sendiri. Ide yang muncul dari potensi mereka adalah soal kopi dan café/ warkop, namun setalah berimaji soal keberadaan café tersebut saya kembali lagi pada diri sendiri bahwa saya ini bukan siapa-siapa, uang kuliah dan biaya hidup di rantau pun masih di sokong oleh orang tua, bagaimana saya bisa membangun sebuah café/ warkop untuk menjadikan solusi bersama soal kendala yang dihadapi teman-teman saya khususnya soal ekonomi yang tertuju untuk perkuliahan mereka ? investor hmm memang terkesan kapitalistik mendengar kata itu namun itu sekadar istilah untuk menengahi masalah warkop yang tak bisa berdiri tanpa ada dana segar dari dermawan atau seorang investor yang berhati baik dan berfikiran menolong anak-anak muda kurang biaya kuliah namun bersedia menjadi seorang yang tidak mengemis secara resmi atau tidak resmi.
Lalu fase berandai pun muncul begitu saja, seandainya saya anak orang kaya atau konglomerat saya ingin membagi-bagikan uang tabungan dari orang tua untuk menolong teman-teman saya yang kesusahan dalam sektor ekonominya atau membangun café dan mengajak teman-teman saya untuk menjadikan café tersebut sebuah penghasil rasa yang nyata dan juga penghasil uang bagi keberlanjutan kisah hidup teman-teman saya. Namun rasa-rasanya itu tidaklah mungkin sebab saya bukan anak orang kaya atau konglomerat itu, jika pun saya anak orang kaya apakah saya masih peduli untuk sekadar menjadi pendengar keluh kesah mereka, apakah saya masih rela untuk berteman dengan mereka ? mungkin saja saya terlalu gengsi berdekatan dan mengakrabi masalah mereka.

Saya hanya bisa menuliskan sebuah kata-kata dan hanya bisa memimpikan sebuah imaji dan diselipi doa-doa kepada teman-teman saya. Karena saya bukan lah seorang dewa penolong dalam kehidupan mereka, saya hanya manusia biasa yang menjadi figuran dalam kisah panjang kehidupan mereka.

Semoga tahun depan awal kenyataan dari imaji dan mimpi kita entah nanti situasi dan perasaan ini berubah, tulisan ini merupakan representasi doa-doa dan cita yang diendapkan agar tak terlupakan kelak. Terjadi atau tidak itu bukan urusan kita yang terpenting adalah berani untuk menuliskannya.