Suatu sore saya beranjak dari kamar kost yang nyaman dan
layak huni, kost-kostan yang di diami oleh orang-orang yang berbakat melawak
dan tertawa, tertawa hanya dengan celetukan khas anak muda yang sedang merintis
kepercayaan diri, percaya diri bahwa dunia ini tak sekejam dan sekaras yang di
dongengkan para tetua. Setelah memberikan senyum dan salam bahwa saya akan
pergi sebentar menemui teman-teman yang memintai bantuan untuk sekadar jadi
pendengar yang bijak, mendengarkan keluh dan kesah soal kuliahnya, soal
tugas-tugasnya dan soal kehidupan keluarganya atau kisah cintanya dengan
seorang teman yang lugu. Sore itu saya merenung setelah mendengar banyak kisah
yang di ceritakan tanpa paksaan mengallir begitu saja, tanpa ada tekanan,
melaju dengan kepercayaan sebagai teman. Bahwa saya bukan lah siap-siapa di
antara mereka, saya hanya bagian kecil dari takdir mereka, bertemu hanya dalam
hitungan menit atau jam saja, bertemu untuk mengetahui rahasia kehidupan bahwa
saya hanyalah potongan kecil yang saharusnya menjadi pemeran utama dalam kisah
hidup saya sendiri, bukan menjadi dewa penolong mereka karena saya bukan
siapa-siapa di kehidupan mereka, saya hanyalah figuran yang numpang lewat di
episode kehidupan mereka.
Saya sering berfikir untuk menolong teman-teman saya setelah
mendengar kisah-kisah mereka, namun kesadaran ini menegaskan bahwa saya hanya
manusia biasa bukan dewa penolong yang mengurus diri sendiri pun tak terlalu
becus, berani-beraninya menolong orang lain ? namun melihat semangat mereka
untuk terus berani hidup dengan tawa dan senyuman walau dalam diri mereka
mengalami banyak kisah yang pahit, mulai dari kisah cinta yang suram, urusan
ekonomi yang klasik dan soal hidup yang kadang membuat seakan-akan tidak
berpihak pada teman saya. Lalu pada malam harinya saya memikirkan sebuah ide
yang terngiang di dalam kepala saya, bahwa dukungan moril saja belumlah cukup
untuk membantu teman-teman saya, sesuatu hal momentum harus terjadi dalam
bentuk apapun itu maka saya memutuskan berimaji dan berdialog dengan diri
sendiri bahwa potensi yang dimiliki teman-teman seharusnya bisa menolong mereka
sendiri. Ide yang muncul dari potensi mereka adalah soal kopi dan café/ warkop,
namun setalah berimaji soal keberadaan café tersebut saya kembali lagi pada
diri sendiri bahwa saya ini bukan siapa-siapa, uang kuliah dan biaya hidup di
rantau pun masih di sokong oleh orang tua, bagaimana saya bisa membangun sebuah
café/ warkop untuk menjadikan solusi bersama soal kendala yang dihadapi
teman-teman saya khususnya soal ekonomi yang tertuju untuk perkuliahan mereka ?
investor hmm memang terkesan kapitalistik mendengar kata itu namun itu sekadar
istilah untuk menengahi masalah warkop yang tak bisa berdiri tanpa ada dana
segar dari dermawan atau seorang investor yang berhati baik dan berfikiran
menolong anak-anak muda kurang biaya kuliah namun bersedia menjadi seorang yang
tidak mengemis secara resmi atau tidak resmi.
Lalu fase berandai pun muncul begitu saja, seandainya saya
anak orang kaya atau konglomerat saya ingin membagi-bagikan uang tabungan dari
orang tua untuk menolong teman-teman saya yang kesusahan dalam sektor
ekonominya atau membangun café dan mengajak teman-teman saya untuk menjadikan
café tersebut sebuah penghasil rasa yang nyata dan juga penghasil uang bagi
keberlanjutan kisah hidup teman-teman saya. Namun rasa-rasanya itu tidaklah
mungkin sebab saya bukan anak orang kaya atau konglomerat itu, jika pun saya
anak orang kaya apakah saya masih peduli untuk sekadar menjadi pendengar keluh
kesah mereka, apakah saya masih rela untuk berteman dengan mereka ? mungkin
saja saya terlalu gengsi berdekatan dan mengakrabi masalah mereka.
Saya hanya bisa menuliskan sebuah kata-kata dan hanya bisa
memimpikan sebuah imaji dan diselipi doa-doa kepada teman-teman saya. Karena
saya bukan lah seorang dewa penolong dalam kehidupan mereka, saya hanya manusia
biasa yang menjadi figuran dalam kisah panjang kehidupan mereka.
Semoga tahun depan awal kenyataan dari imaji dan mimpi kita entah nanti situasi dan perasaan ini berubah, tulisan ini merupakan representasi doa-doa dan cita yang diendapkan agar tak terlupakan kelak. Terjadi atau tidak itu bukan urusan kita yang terpenting adalah berani untuk menuliskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar