Jumat, 10 Februari 2017

Demi lawuh dalam Resident Evil


Suatu sore saya dan televisi sedang berdialog mebincangkan sebuah film yang booming pada tahun 2002an hingga sekarang pun masih ada lanjutan ceritnya hingga film ke 6 totalnya (masih bisa nambah lagi) dan ceritanya masih nggantung gitu, akhir filmnya ga terlalu bisa kita simpulkan seketika, harus di imajinasikan dan dibayangkan banyak-banyak. Film itu berjudul Resident Evil mulai dari seri pertama hingga terakhir saya paksakan menontonnya sebab di film pertama saya penasaran karena di satu scene yang menjelaskan bahwa orang yang mati dan terkena T-Virus akan hidup lagi namun hanya memiliki sedikit kecerdasan dan sumber utama meraka bisa bergentayangan adalah dari dasar kebutuhan “makhluk hidup” yaitu membutuhkan makan, nafsu makan tepatnya. Sebab tanpa ada nafsu makan selezat apapun rasanya tak akan mau kita memakannya. Setelah berdiskusi dalam dialog saya dengan televisi yang terus diganggu oleh iklan komersil, kesel juga yah. Pada akhirnya saya menyudahi dialog ini dan lekas tidur di kamar karena sudah malam dan lebih baik tunggu moment yang tepat untuk meneruskan menonton film dan mebahas soal makanan pada film Resident Evil itu.

Sekitar satu minggu lebih, kemudian saya di kabari oleh teman yang katanya habis ikut kumpul, lalu dari perkumpulan tersebut akan lahir sebuah forum diskusi yang bertema “Demi Lawuh” yang membahas topik makanan dan serba-serbinya dari lintas pikiran dan pengetahuan. Saya langsung teringat film Resident Evil ketika di jelaskan soal tema diskusi dalam forum tersebut. Mungkin terdengar tidak nyambung namun bagi saya ini adalah kesempatan untuk menulis, momentnya tepat dan mulailah saya pergi ke wifi corner untuk mendownload di situs illegal yang biasanya sebulan sekali di blokir oleh yang berwajib. Sebab pangsa pasar saya masih masuk di kelas menengah ke bawah yang belum bisa beli DVD original jadi mau tidak mau ya download saja atau beli DVD bajakan. Setelah mendownload semua serial filmnnya bertapalah saya di kost-kostan.
Setelah bertapa sekitar 3 harian saya telah menyelesaikan serial 6 film Resident Evil hingga final chapter walau dengan kualitas film bajakan, minimal saya memahami alur cerita dan beberapa detail ide utama dari film ini. Secara intinya film ini menggambarkan lepas kendalinya manusia dalam hal rekayasa genetik dalam penelitian yang bertujuan untuk menyembuhkan sebuah penyakit langka, karena lepas kendali maka banyak korban yang menjadi tumbalnya, manusia akan punah digantikan zombi-zombi yang perlu makan daging manusia yang belum terinfeksi T-Virus, bumi mengering karena tumbuhan mati, air tercemar, tanah menjadi tandus dan berubah menjadi padang pasir. Namun ada satu manusia yang berevolusi karena T-Virus tersebut, ia tidak bermutasi namun berevolusi, ia juga kehilangan kemanusiaannya atau rasa menjadi manusia biasa, ia adalah tokoh utama dalam film yaitu Alice.
Untuk lebih jelasnya silahkan untuk mencari filmnya sendiri-sendiri karena saya tak akan mereview soal film tersebut. Saya hanya meminjam ide atau gagasan yang ada dalam film tersebut soal zombi-zombi yang bergentayangan karena dorongan rasa lapar atau mereka bisa hidup karena dorongan rasa lapar, selain juga adanya mutasi pada sistem tubuh setelah mati dari T-Virus tersebut. Saya jadi berfikir bahwa selama ini yang membuat bertahannya manusia di muka bumi ini salah satu faktornya adalah dari rasa lapar yang menurut orang-orang sekarang adalah bukan keperluan yang penting. Sekarang orang pergi mencari makan bukan karena lapar saja tetapi karena eksistensi di media sosial atau karena orang-orang sekarang membutuhkan tempat makan yang mahal untuk menghabiskan uang hasil korupsinya. Jika di -Afrika mungkin orang-orang disana lebih membutuhkan makan dari pada sebatang emas, saking lapar dan kurusnya jadi buat apa emas jika tak bisa kita makan langsung, mungkin seperti itu pola pikirnya mungkin juga tidak.
“Demi Lawuh” adalah momentum dimana saya melihat makanan bukan saja sebagai sumber energi saja tetapi juga sebagai penggerak manusia menuju impian dan cita-citanya, manusia bergerak bukan saja karena ambisi dan semangatnya namun juga karena membutuhkan makan. Seandainya kita tahu kita hadir di dunia ini untuk apa ? Mungkin kita tak rela jika ketika di dunia ini menjadi seorang pengemis atau bahkan pencuri ayam tetangga, nyatanya kita hadir dan hidup di dunia ini dengan berusaha memenuhi hasrat untuk makan dengan cara mengemis sampai dengan mencuri pun kita lakukan demi sesuap nasi dan meredakan perut yang keroncongan, rasa keroncongan itu tak enak di dengar oleh tetangga sebelah. Ekspetasi saya soal tema ini mungki sedikti tidak nyambung dan bahkan seperti orang ngelantur, tetapi perlu dipahami selama ini kita berperang, menjelajah bumi, menaklukan alam dan mengeduk isi bumi hanya demi sesuap nasi yang nantinya rasa lapar itu reda sebentar lalu akan muncul lagi terus-menerus. Seperti itulah manusia makhluk yang fana yang tidak abadi, memerlukan makan.

Kembali lagi pada film Resident Evil bahwa manusia rela mengorbankan apapun demi kemajuan cita-citanya hingga membutakan bahwa orang-orang di sekitar kita telah hilang dan lenyap di makan ambisi-ambisi kita sendiri, kita lupa untuk memikirkan dampak dari kemajuan cita-cita tersebut. Kita akan sadar ketika pada titik akhir cita-cita itu tidak membuahkan hasil apa-apa. Kita pada akhirnya akan menyesal dan lesu, namun rasa lapar itu tak pernah berhenti hingga kita di tembak dengan senapan tepat di kepala kita atau berhenti ketika tulang belakang kita rusak karena cedera berat mungkin. Para ilmuan menggaungkan kemajuan teknologi tanpa merasa bahwa norma-norma yang selama ini lestari mulai hancur bahkan punah begitu saja tanpa ada yang mengingatkan, tahu-tahu bumi ini telah tercemar dan sakit.
Sejujurnya ketika makanan yang kita makan itu masuk ke tubuh kita maka akan ada proses yang di namakan proses metabolisme, proses ini bekerja secara kimiawi yaitu dimana terjadinya pertukaran zat ataupun organisme terhadap lingkungannya. Maksudnya bahwa mahluk hidup memperoleh sumber energi dengan proses mengolah dan mengubah suatu zat dengan proses kimiawi yang bertujuan untuk mepertahankan kehidupannya. Sehingga semurni apapu hal yang kita makan maka akan tetap di proses dahulu untuk kemudian di ubah menjadi sesuatu hal yang cocok dengan lingkungan sekitarnya yaitu tubuh kita membutuhkan zat-zat tertentu sebagai bahan bakar dan tetap menghidupkan organ-organ kita tentunya. Yang jadi masalah adalah ketika adanya efek samping dari bahan makan tadi seperti pengawet dan penyedap rasa yang notabene adalah bahan-bahan kimia yang apabila di konsumsi terlalu banyak akan memunculkan beberapa ganguan pada organ-oragan di dalam tubuh manusia, kemudian bisa saja terjadi mutasi pada tubuh kita lalu menebabkan penyakit yang pada dasarnya akan mengakibatkan bagian tubuh yang lain bekerja lebih berat karena ada oragan lain yang rusak atau terkena mutasi.
Menilik soal makanan maka kita juga bisa melihat bersama bahwa bukan saja soal makanan yang kita bisa telan kedalam mulut tetapi juga suatu hal benda yang bisa kita miliki seperti kepemilikan barang-barang pribadi yaitu sandang dan papan. Jika kita membacanya lebih dalam bahwa sandang dan papan merupakan kebutuhan primer kita yang mengarah pada hal konsumsi. Istilah konsumsi merujuk pada apa yang kita makan, gunakan/ pakai juga apa yang akan kita habiskan. Disisi lain ada juga hasrat memiliki yang lain seperti mencintai seseorang, menyukai suatu tempat dan suasana bahkan memperjuangkan suatu hal ide dan gagasan pun bisa menjadi hal yang bisa di katakan mengkonsumsi. Sebab mengkonsumsi tidak saja yang berwujud namun apa yang kita rasakan dan kita endapkan dalam pikiran atau perasaan maka bisa di kategorikan mengkonsumsi, menurut apa yang saya amati orang yang sedah jatuh cinta akan merasakan sebuah kondisi dimana ia tidak akan lengkap hidupnya apabila tidak bisa berjumpa dengan seseorang yang sedang di cintainya yang biasa kita sebut dengan istilah “rindu”, setiap orang yang memiliki perasaan dan mengalami peristiwa jatuh cinta maka akan ada kolerasinya dengan kata konsumsi yaitu mengkonsumsi rasa rindu karena mereka tak bisa bertemu secara fisik dan hanya bisa secara batiniah saja.
Kembali mengingat lagi soal film Resident Evil bahwa mutasi dan evolusi merupakan dua efek yang dilematis karena ketika kita sebagai manusia menginginkan sebuah perubahan cara entah itu cara hidup dan atau pola pikir maka akan ada yang di korbankan, jelas sekali manusia memililki tradisi dan kepercayaan bahwa dengan berbagai macam pengorbanan maka akan terwujud suatu tatanan baru yang lebih baik lagi dan harganya cukup mahal seperti pembunuhan masal, pembantaian suatu kaum hingga mematikan seluruh populasi di bumi dengan serangan virus mematikan demi sebuah keuntungan politis dan kekuasaan materi juga adanya kegilaan ambisi para penguasa, seperti yang ada di film Resident Evil. Lalu saya mencoba berfikir jika manusia hidup abadi tanpa memiliki rasa lapar akan makanan maka sebagai ganti dari evolusi tersebut adalah rasa ingin menguasai dan memiliki yang bisa mengancam orang lain bahkan mengancam dirinya sendiri sebab logikanya akan menuntun pada pemikiran dirinya lah yang akan menggantikan Tuhan dari kaum manusia, menjadikannya abadi akan berdampak bahwa hasrat untuk merajai lebih berbahaya dari pada manusia yang masih memililki rasa lapar yaitu manusia biasa. Lihat saja ketika seorang yang mendadak kaya maka ia tidak akan mengingat lagi tentang kemiskinan yang telah dilaluinya dahulu, ia telah terjamin soal rasa laparnya maka ia memilih kegiatan atau cita-cita yang lebih glamor seperti mencari kekuasaan, jabatan, harta yang lebih banyak lagi. Ia benar-benar lupa soal masa lalunya.
Sebuah kesimpulan tentang “Demi Lawuh” bahwa keinginan untuk makan atau nafsu makan adalah suatu hal yang manusiawi. Makanan apapun yang kita cerna juga akan mempengaruhi karakter seseorang, cara bicara, watak, pola pikir juga tingkat kecerdasan. Ini beralasan sebab apapun yang di serap oleh tubuh entah itu visual, suara, wewangian, apa yang kita raba dan apa yang kita cerna dengan mulut akan membentuk bagaimana seseorang itu hidup, bagaimana manusia itu tumbuh dan berkembang secara independen. Untuk urusan makanan saya lebih suka makan bakso atau bakmi namun menu favorit adalah soto Betawi buatan ibu saya dan itu tak bisa digantikan siapapun sebab seperti tadi setiap apa yang kita cerna akan memberikan suatu ciri khas tersendiri pada setiap individu untuk hidup secara independen. Jadi tak perlu lah membandingkan masakan istri atau orang lain dengan masakan Ibu kita, itu tak pernah akan sebanding karena pengalaman menjamin rasa dan kepintaran belum tentu menggugah rasa.
Mohon maaf jika tulisan ini terlalu “ngawur” dan tak terstruktur dengan rapih, semua kengawuran ini hanyalah moment yang harap di maklumi dan bersedia untuk di maafkan lalu jika perlu untuk segera di lupakan saja jika membuat resah hati para pembaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar