Suatu sore saya dan televisi sedang berdialog mebincangkan
sebuah film yang booming pada tahun 2002an hingga sekarang pun masih ada
lanjutan ceritnya hingga film ke 6 totalnya (masih bisa nambah lagi) dan ceritanya
masih nggantung gitu, akhir filmnya ga terlalu bisa kita simpulkan seketika,
harus di imajinasikan dan dibayangkan banyak-banyak. Film itu berjudul Resident
Evil mulai dari seri pertama hingga terakhir saya paksakan menontonnya sebab di
film pertama saya penasaran karena di satu scene yang menjelaskan bahwa orang
yang mati dan terkena T-Virus akan hidup lagi namun hanya memiliki sedikit
kecerdasan dan sumber utama meraka bisa bergentayangan adalah dari dasar
kebutuhan “makhluk hidup” yaitu membutuhkan makan, nafsu makan tepatnya. Sebab tanpa
ada nafsu makan selezat apapun rasanya tak akan mau kita memakannya. Setelah
berdiskusi dalam dialog saya dengan televisi yang terus diganggu oleh iklan
komersil, kesel juga yah. Pada akhirnya saya menyudahi dialog ini dan lekas
tidur di kamar karena sudah malam dan lebih baik tunggu moment yang tepat untuk
meneruskan menonton film dan mebahas soal makanan pada film Resident Evil itu.
Sekitar satu minggu lebih, kemudian saya di kabari oleh
teman yang katanya habis ikut kumpul, lalu dari perkumpulan tersebut akan lahir
sebuah forum diskusi yang bertema “Demi Lawuh” yang membahas topik makanan dan
serba-serbinya dari lintas pikiran dan pengetahuan. Saya langsung teringat film
Resident Evil ketika di jelaskan soal tema diskusi dalam forum tersebut.
Mungkin terdengar tidak nyambung namun bagi saya ini adalah kesempatan untuk
menulis, momentnya tepat dan mulailah saya pergi ke wifi corner untuk
mendownload di situs illegal yang biasanya sebulan sekali di blokir oleh yang
berwajib. Sebab pangsa pasar saya masih masuk di kelas menengah ke bawah yang
belum bisa beli DVD original jadi mau tidak mau ya download saja atau beli DVD
bajakan. Setelah mendownload semua serial filmnnya bertapalah saya di
kost-kostan.
Setelah bertapa sekitar 3 harian saya telah menyelesaikan
serial 6 film Resident Evil hingga final chapter walau dengan kualitas film
bajakan, minimal saya memahami alur cerita dan beberapa detail ide utama dari
film ini. Secara intinya film ini menggambarkan lepas kendalinya manusia dalam
hal rekayasa genetik dalam penelitian yang bertujuan untuk menyembuhkan sebuah
penyakit langka, karena lepas kendali maka banyak korban yang menjadi
tumbalnya, manusia akan punah digantikan zombi-zombi yang perlu makan daging manusia
yang belum terinfeksi T-Virus, bumi mengering karena tumbuhan mati, air
tercemar, tanah menjadi tandus dan berubah menjadi padang pasir. Namun ada satu
manusia yang berevolusi karena T-Virus tersebut, ia tidak bermutasi namun
berevolusi, ia juga kehilangan kemanusiaannya atau rasa menjadi manusia biasa,
ia adalah tokoh utama dalam film yaitu Alice.
Untuk lebih jelasnya silahkan untuk mencari filmnya
sendiri-sendiri karena saya tak akan mereview soal film tersebut. Saya hanya
meminjam ide atau gagasan yang ada dalam film tersebut soal zombi-zombi yang
bergentayangan karena dorongan rasa lapar atau mereka bisa hidup karena
dorongan rasa lapar, selain juga adanya mutasi pada sistem tubuh setelah mati
dari T-Virus tersebut. Saya jadi berfikir bahwa selama ini yang membuat bertahannya
manusia di muka bumi ini salah satu faktornya adalah dari rasa lapar yang
menurut orang-orang sekarang adalah bukan keperluan yang penting. Sekarang
orang pergi mencari makan bukan karena lapar saja tetapi karena eksistensi di
media sosial atau karena orang-orang sekarang membutuhkan tempat makan yang
mahal untuk menghabiskan uang hasil korupsinya. Jika di -Afrika mungkin
orang-orang disana lebih membutuhkan makan dari pada sebatang emas, saking
lapar dan kurusnya jadi buat apa emas jika tak bisa kita makan langsung, mungkin
seperti itu pola pikirnya mungkin juga tidak.
“Demi Lawuh” adalah momentum dimana saya melihat makanan
bukan saja sebagai sumber energi saja tetapi juga sebagai penggerak manusia
menuju impian dan cita-citanya, manusia bergerak bukan saja karena ambisi dan
semangatnya namun juga karena membutuhkan makan. Seandainya kita tahu kita
hadir di dunia ini untuk apa ? Mungkin kita tak rela jika ketika di dunia ini
menjadi seorang pengemis atau bahkan pencuri ayam tetangga, nyatanya kita hadir
dan hidup di dunia ini dengan berusaha memenuhi hasrat untuk makan dengan cara
mengemis sampai dengan mencuri pun kita lakukan demi sesuap nasi dan meredakan
perut yang keroncongan, rasa keroncongan itu tak enak di dengar oleh tetangga
sebelah. Ekspetasi saya soal tema ini mungki sedikti tidak nyambung dan bahkan
seperti orang ngelantur, tetapi perlu dipahami selama ini kita berperang,
menjelajah bumi, menaklukan alam dan mengeduk isi bumi hanya demi sesuap nasi
yang nantinya rasa lapar itu reda sebentar lalu akan muncul lagi terus-menerus.
Seperti itulah manusia makhluk yang fana yang tidak abadi, memerlukan makan.
Kembali lagi pada film Resident Evil bahwa manusia rela
mengorbankan apapun demi kemajuan cita-citanya hingga membutakan bahwa
orang-orang di sekitar kita telah hilang dan lenyap di makan ambisi-ambisi kita
sendiri, kita lupa untuk memikirkan dampak dari kemajuan cita-cita tersebut.
Kita akan sadar ketika pada titik akhir cita-cita itu tidak membuahkan hasil
apa-apa. Kita pada akhirnya akan menyesal dan lesu, namun rasa lapar itu tak
pernah berhenti hingga kita di tembak dengan senapan tepat di kepala kita atau
berhenti ketika tulang belakang kita rusak karena cedera berat mungkin. Para
ilmuan menggaungkan kemajuan teknologi tanpa merasa bahwa norma-norma yang
selama ini lestari mulai hancur bahkan punah begitu saja tanpa ada yang
mengingatkan, tahu-tahu bumi ini telah tercemar dan sakit.
Sejujurnya ketika makanan yang kita makan itu masuk ke tubuh
kita maka akan ada proses yang di namakan proses metabolisme, proses ini bekerja
secara kimiawi yaitu dimana terjadinya pertukaran zat ataupun organisme
terhadap lingkungannya. Maksudnya bahwa mahluk hidup memperoleh sumber energi
dengan proses mengolah dan mengubah suatu zat dengan proses kimiawi yang
bertujuan untuk mepertahankan kehidupannya. Sehingga semurni apapu hal yang
kita makan maka akan tetap di proses dahulu untuk kemudian di ubah menjadi
sesuatu hal yang cocok dengan lingkungan sekitarnya yaitu tubuh kita
membutuhkan zat-zat tertentu sebagai bahan bakar dan tetap menghidupkan
organ-organ kita tentunya. Yang jadi masalah adalah ketika adanya efek samping
dari bahan makan tadi seperti pengawet dan penyedap rasa yang notabene adalah
bahan-bahan kimia yang apabila di konsumsi terlalu banyak akan memunculkan
beberapa ganguan pada organ-oragan di dalam tubuh manusia, kemudian bisa saja
terjadi mutasi pada tubuh kita lalu menebabkan penyakit yang pada dasarnya akan
mengakibatkan bagian tubuh yang lain bekerja lebih berat karena ada oragan lain
yang rusak atau terkena mutasi.
Menilik soal makanan maka kita juga bisa melihat bersama
bahwa bukan saja soal makanan yang kita bisa telan kedalam mulut tetapi juga
suatu hal benda yang bisa kita miliki seperti kepemilikan barang-barang pribadi
yaitu sandang dan papan. Jika kita membacanya lebih dalam bahwa sandang dan
papan merupakan kebutuhan primer kita yang mengarah pada hal konsumsi. Istilah
konsumsi merujuk pada apa yang kita makan, gunakan/ pakai juga apa yang akan
kita habiskan. Disisi lain ada juga hasrat memiliki yang lain seperti mencintai
seseorang, menyukai suatu tempat dan suasana bahkan memperjuangkan suatu hal
ide dan gagasan pun bisa menjadi hal yang bisa di katakan mengkonsumsi. Sebab
mengkonsumsi tidak saja yang berwujud namun apa yang kita rasakan dan kita
endapkan dalam pikiran atau perasaan maka bisa di kategorikan mengkonsumsi,
menurut apa yang saya amati orang yang sedah jatuh cinta akan merasakan sebuah
kondisi dimana ia tidak akan lengkap hidupnya apabila tidak bisa berjumpa
dengan seseorang yang sedang di cintainya yang biasa kita sebut dengan istilah
“rindu”, setiap orang yang memiliki perasaan dan mengalami peristiwa jatuh
cinta maka akan ada kolerasinya dengan kata konsumsi yaitu mengkonsumsi rasa
rindu karena mereka tak bisa bertemu secara fisik dan hanya bisa secara
batiniah saja.
Kembali mengingat lagi soal film Resident Evil bahwa mutasi dan
evolusi merupakan dua efek yang dilematis karena ketika kita sebagai manusia
menginginkan sebuah perubahan cara entah itu cara hidup dan atau pola pikir maka
akan ada yang di korbankan, jelas sekali manusia memililki tradisi dan
kepercayaan bahwa dengan berbagai macam pengorbanan maka akan terwujud suatu
tatanan baru yang lebih baik lagi dan harganya cukup mahal seperti pembunuhan
masal, pembantaian suatu kaum hingga mematikan seluruh populasi di bumi dengan
serangan virus mematikan demi sebuah keuntungan politis dan kekuasaan materi
juga adanya kegilaan ambisi para penguasa, seperti yang ada di film Resident
Evil. Lalu saya mencoba berfikir jika manusia hidup abadi tanpa memiliki rasa
lapar akan makanan maka sebagai ganti dari evolusi tersebut adalah rasa ingin
menguasai dan memiliki yang bisa mengancam orang lain bahkan mengancam dirinya
sendiri sebab logikanya akan menuntun pada pemikiran dirinya lah yang akan
menggantikan Tuhan dari kaum manusia, menjadikannya abadi akan berdampak bahwa
hasrat untuk merajai lebih berbahaya dari pada manusia yang masih memililki
rasa lapar yaitu manusia biasa. Lihat saja ketika seorang yang mendadak kaya
maka ia tidak akan mengingat lagi tentang kemiskinan yang telah dilaluinya
dahulu, ia telah terjamin soal rasa laparnya maka ia memilih kegiatan atau
cita-cita yang lebih glamor seperti mencari kekuasaan, jabatan, harta yang
lebih banyak lagi. Ia benar-benar lupa soal masa lalunya.
Sebuah kesimpulan tentang “Demi Lawuh” bahwa keinginan untuk
makan atau nafsu makan adalah suatu hal yang manusiawi. Makanan apapun yang
kita cerna juga akan mempengaruhi karakter seseorang, cara bicara, watak, pola pikir
juga tingkat kecerdasan. Ini beralasan sebab apapun yang di serap oleh tubuh
entah itu visual, suara, wewangian, apa yang kita raba dan apa yang kita cerna
dengan mulut akan membentuk bagaimana seseorang itu hidup, bagaimana manusia
itu tumbuh dan berkembang secara independen. Untuk urusan makanan saya lebih
suka makan bakso atau bakmi namun menu favorit adalah soto Betawi buatan ibu
saya dan itu tak bisa digantikan siapapun sebab seperti tadi setiap apa yang
kita cerna akan memberikan suatu ciri khas tersendiri pada setiap individu
untuk hidup secara independen. Jadi tak perlu lah membandingkan masakan istri
atau orang lain dengan masakan Ibu kita, itu tak pernah akan sebanding karena
pengalaman menjamin rasa dan kepintaran belum tentu menggugah rasa.
Mohon maaf jika tulisan ini terlalu “ngawur” dan tak
terstruktur dengan rapih, semua kengawuran ini hanyalah moment yang harap di
maklumi dan bersedia untuk di maafkan lalu jika perlu untuk segera di lupakan
saja jika membuat resah hati para pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar