Dalam karya saya tahun
2013 yang berjudul “Pijakan yang lemah” ini di buat menggunakan teknik cetak
negative dan menggunakan media resin sebagai duplikasi benda-benda yang saya
ingin satukan. Cetakan sepatu dan daun sawi ini menggunakan silicon atau lem
kaca yang di oleskan langsung pada benda yang ingin di cetak tentunya. Saya menampilkan dua karakter yang sebenarnya berbeda jauh dan tak ada hubungannya sama sekali, yaitu sepatu untuk lari dan
daun sawi. Dari ketidak nyambungan tersebut jadilah bentuk patung ini, dari
sepatu untuk lari yang saya buat sedikit pleat-pleot tidak mengikuti bentuk aslinya dan daun
sawinya pun hanya se helai saja. Di finishing dengan warna emas akrilik, biru
dan putih akrilik, ada rongga di dalam sepatu yang sengaja saya suguhkan agar
terkesan hasil cetakan sepatu tipis dan ringan.
Dalam karya ini
terdapat perpaduan garis horizontal dan vertical, horizontal pada bentuk sepatu
yang lebih banyak terlihat garis horizontal dan pada daun yang lebih banyak garis
vertical.
Terdapat tiga warna
yang di dominasi warna emas dan warna biru dan putih sebagai pembeda dan aksen
simple.
Memang tekstur dari
sepatu dan daun cukup baik tercetak dan jika di raba akan berbeda dengan sepatu
yang asli karena media resin yang lumayan keras dibanding bahan sepatu pada
umumnya.
Ruang, saya melihat
ruang jelas terwujud dari bentuk sepatu itu sendiri, mungkin karena kita sering
melihat sepatu sejak kita kecil dan terdapat rongga sepatu yang menjelaskan
ruang kosong itu sendiri.
Bidang, terlihat dari
pembagian warna emas, biru dan putih jika saya hanya melihat perbagian warna
saja maka akan terlihat sebuah bidang tersendiri saja.
Value timbul saat ada
pantulan cahaya menyentuh patung, dan ini diperkuat dengan bentuk asimetris
dari patung atau dari bentuk yang pleat-pleot sehingga untuk gelap terangnya
bisa sedikit kita lihat.
•
Sepatu dan daun sawi dengan judul “Pijakan
yang lemah”, kadang kita berpijak pada sesuatu yang lemah dan kita memang selalu
berpijak pada sesuatu yang lemah tetapi apakah kita tak mau memilih untuk tetap
kuat di atas pijakan yang lemah itu ? Itu pilihan kita masing-masing, setiap
orang punya dan mampu memilih, memilih bertahan atau menyerah.
•
Saya ulangi lagi, sepatu dan daun sawi,
sebenarnya saya hanya merespon lingkungan sekitar saja, lingkungan yang
berhubungan dengan anak muda dengan fashion dan tetangga saya dengan
pertanianya.
•
Anak muda dengan dunia fashionnya,
sangat mengelora mereka anak muda, iya walau saya juga masih muda tapi apa
salahnya berpikir seperti para orang tua ? Mereka bangga akan gengsi akan semua
pernak pernik kemeriahan dunianya dengan brand yang mereka junjung tinggi padahal hanya sekadar sepatu yang fungsinya sama dan jika memang tidak melihat hanya
dari sudut fungsi sepatu itu bisa jadi simbol tingkat ekonomi mungkin saat ini
jika mereka menggunkan merek dan barand sepatu yang di pakai oleh artis dan
orang-orang barat maka mereka otomatis aka jadi seperti artis dan orang barat ?
Tentu saja kita tetap orang jawa atau orang indonesia yang lebih nyaman
kemana-mana memakai sendal jepit. Lucu memang tapi itu respon saya terhadap
anak muda sekarang ini.
•
Untuk tetangga saya dan dunia pertaniannya, mereka tak sempat dan tak mungkin lagi memikirkan hal-hal macam
sepatu ber-merek dan branded tentunya, untuk makan saja sudah bersyukur untuk
biaya pendidikan pun susah untuk apa membeli gengsi pada sebuah sepatu ? Jika di
tanya kenapa tidak pernah memakai dan membeli sepatu ? Jawabnya nanti siapa
yang akan memberi makan dan membiayai anak saya dan saya !. Mungkin saya tidak
bisa menjelaskan terlalu detail bagaimana menjadi petani kini karena saya tak
pernah punya memiliki lahan pertanian, tetapi dengan melihat dan mengamati saya
bisa sedikit tahu tentang itu.
•
Dari karya saya sendiri bisa di tarik
kesimpulan sedikit bahwa masih banyak ketimpangan yang menyatu dengan
kenyamanan dan kemewahan dan itu di anggap hal biasa, namun seharusnya kita
sadar kita perlu berbagi agar merasa kita memiliki.